Pendidikan yang Hilang Terkait Cerita Abu Nawas

- 28 Mei 2023, 21:50 WIB
Kisah Abu Nawas: Ibu Sejati
Kisah Abu Nawas: Ibu Sejati /Tangkap Layar You Tube/

Berita Sleman - Abu Nawas kehilangan cincin, ia tampak bingung mencari-cari, dahinya berkerut keringat bercucuran, mondar-mandir ia di teras hingga pekarangan belakang rumah.

batu-batu yang kecil maupun besar yang dicurigai tempat kemungkinan terselipnya cincin diangkat dan dibalik satu-persatu, hingga 2 jam lamanya tak kunjung ketemu hingga para tetangga yang melihat merasa iba dan kasihan kepada Abu Nawas, mereka semua berbondong-bondong membantu Abu Nawas menemukan cincinnya yang hilang.

Baca Juga: Pentingnya Pendidikan Bagi Seorang Ibu

atas dasar kawan dekat dan tetangga, mereka rela meluangkan waktu untuk membantu mencarikan tanpa tahu dimana cincin tersebut berada, hingga akhirnya setelah lelah dan tak berdaya puas dengan pencarian yang tak kunjung membuahkan hasil, salah seorang dari mereka mencoba menahan Abu Nawas yang sedikit emosi karena belum juga ketemu cincinnya.

“Abu Nawas, hingga 3 jam kita mencari cincinmu tapi tak ada hasil apapun yang kita temui diluar sini, sebenarnya hilangnya cincinmu dimana?” ‘tanya teman Abu Nawas”. Abu Nawas dengan reflek menjawab bahwa cincinnya itu hilang di dalam rumah. Para tetangga yang membantu mencarikan cincin tersebut semuanya menggerutu dan sewot serta menendang barang-barang yang ada di luar rumah Abu Nawas seraya nyeletuk “hilangnya di dalam rumah, ngapain dari tadi nyarinya di luar rumah”.

Fenomena Abu Nawas merata dan tumbuh subur layaknya jamur tiram di musim hujan, telah terjadi di pemerintahan, perusahaan, sekolah, dan disekitar kita. Abu Nawas tidak berbohong, melainkan tidak terdidik untuk mencari sumber masalah dari dalam terlebih dahulu, yakni dari diri sendiri sehingga Abu Nawas sering mengalami sakit perut, sariawan, dan ngantuk, dimana ciri-ciri tersebut adalah ciri orang yang stres.

Abu Nawas jaman sekarang justru lebih rileks dan menikmati kesetresannya dengan memberikan obat-obatan anti stres. Mereka sibuk mencari di luar meskipun sampai stres dan terus menerus memberikan obat anti stres dan akhirnya tak kunjung menemukan apa yang dicari sampai obat stresnya habis. Mereka pernah bersekolah dari madrasah hingga kuliah tinggi.

Kesalahan mendasar ini, oleh Emha Ainun Najib dalam hal mencari masalah dicontohkan pada sebuah penyakit flu, hidung nggebros-nggebros, meler, tersumbat, hingga menjadi merah karena sering dipencet adalah ciri orang terkena flu, namun pada hakikatnya flu tidak berpusat pada hidung semata, hidung hanyalah tanda dan sinyal bahwa sedang terkena flu, sesungguhnya yang merasakan flu adalah sekujur tubuh namun kita sering terfokus hanya pada hidung semata. Bila kita ngeyel mencari obat hidung dan memencet-mencet hidung hingga kotoran hidung maupun airnya keluar terus menerus flu tidak akan berhenti dengan sendirinya. Karena yang perlu diobati adalah bukan hidung melainkan sekujur tubuhnya.

Mencari kesalahan diri sendiri kadang hanya berfokus pada hidung, padahal sekujur tubuh baik itu berupa perkataan, perbuatan, maaupun tingkah laku yang dilakukan oleh tubuh sering melakukan kesalahan sehingga menyalahkan hidung yang terlalu over dalam menanggapi datangnya flu.

---------------------------------------------

Pendidikan adalah pemberian pertolongan. Hilpe zur selbsthilfe atau pertolongan untuk pertolongan diri. Bila anda ingin menolong diri anda sendiri dari urusan dunia maupun akhirat maka manfaatkan pendidikan. Manusia sebagai homo-ludens atau makhluk yang bermain, kadangkala bermain-main dengan pendidikan. Manusia menginginkan dirinya menjadi sukses akan tetapi ilmunya hanya sedikit atau pas-pasan dan tidak berusaha mencari lebih banyak lagi, hal tersebut menunjukkan ia masih bermain-main.

Sebelumnya, perlu kita tanya pada diri sendiri bahwa sebenarnya, siapa yang berperan dalam pendidikan ?, siapa yang akan memerankan diri sebagai sosok pemberian pertolongan sebelum manusia (anak) memfungsikan sebagai penolong bagi dirinya sendiri ?. Tidak sedikit orang berpendapat bahwa peran atau tanggungjawab pendidikan kepada manusia (anak) ada pada sekolah, karena kebanyakan orang tua mengalihkan begitu saja peran mendidik anak kepada sekolah. Kenyataan yang terbalik ini perlu segera diluruskan kembali, karena sejatinya tanggungjawab serta peran terbesar pendidikan anak ada pada orang tua di rumah. Sekolah hanya berperan sebagai pembantu dengan tugas utama mengajar anak.

Ketika Daud Yusuf mantan menteri pendidikan berkunjung ke sekolah-sekolah di Jepang, beliau mendapati para siswa sekolah di Jepang sangat tekun belajar, rapi, dan teratur. Ketika larut dalam perbincangan dengan para guru disana, Pak Menteri menanyakan bagaimana strategi guru bisa membentuk muridnya hingga melakukan kegiatan sedemikian rupa rapinya, tertib dan sangat disiplin. Jawab dari salah seorang guru tersebut adalah ‘kami nyaris tidak bekerja mengajari mereka tentang hal-hal kecil, kerapian, ketertiban, kedisiplinan, dan lain-lain di sekolah, karena semua itu sudah diajarkan oleh orang tua mereka di rumah’.

Guru utama ternyata berada di rumah mereka masing-masing. Mendidik dan mengajar adalah dua tugas yang berbeda. Mendidik lebih mengarah pada pembentukan moral dan mengajar lebih pada perkembangan intelektual. Orang tua sebagai guru utama di rumah berperan mendidik pondasi moral anak, ketika telah siap maka ia melepaskan anak-anaknya untuk dilanjutkan oleh para guru di sekolah dengan mengajar perkembangan intelektual mereka.

Orang tua tidak akan menyerahkan dan menuntut sepenuhnya pada sekolah agar anaknya pintar dan berperilaku terpuji sebelum di rumah diajarkan oleh guru utama mereka. Ketika para orang tua menuntut ini dan itu, maka tuntutan tersebut termasuk barang yang hilang. Dicari di halaman luar, di sekolah, di masyarakat tidak akan ditemukan, karena sejatinya tuntutan tersebut hilang di dalam rumah sendiri, tuntutan tersebut di bawa oleh guru utama di rumah mereka yaitu orang tua.
BA

Editor: Nidaul Fauziah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x