Membangun Literasi Melestarikan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal

- 12 Mei 2023, 21:00 WIB

Berita Sleman - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendorong aparat penegak hukum mengusut lebih banyak kasus kejahatan lingkungan. Walhi tak ingin kasus kejahatan lingkungan berhenti di Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi. Surya Darmadi terjerat kasus dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.

Walhi menegaskan banyak kasus serupa Surya Darmadi yang bisa diusut. Selain proses ini mestinya kejahatan tidak berhenti di Surya Darmadi dan perusahaannya saja karena kejahatan dalam bentuk serupa itu libatkan banyak perusahaan (Republika, 14 Februari 2023)

Kerusakan lingkungan hidup di tanah air sangat memprihatinkan. Kebakaran hutan seolah menjadi tradisi tahunan di Kalimantan dan Sumatera. Kebakaran ini tidak hanya merugikan negeri tercinta ini tetapi juga merugikan negeri tetangga. Bahkan Film Upin dan Ipin pernah membahas topik ini dengan judul episode “Bahaya Jerebu”. Ternyata jerebu yang dimaksud adalah asap yang diekspor oleh negeri kita.

Pada akhir tahun 2017, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan Indonesia dalam kondisi darurat ekologi akibat kerusakan lingkungan hidup. Keadaan genting ekologi bersumber dari aktivitas monopoli penguasaan sumber daya alam yang dilakukan secara tidak ramah lingkungan, dan berdampak pada hilangnya akses rakyat terhadap sumber penghidupan. Selain itu, kondisi darurat ekologi juga erat hubungannya dengan daya dukung dan tampung lingkungan yang berdampak pada lahirnya, bahkan meningkatnya tren bencana ekologi.

Kerusakan lingkungan merupakan ulah manusia yang kian nakal. Tidak hanya melanda darat dan air, kerusakan lingkungan juga melanda udara dengan daya rusak yang semakin hebat. Atas nama pembangunan lingkungan darat, air, dan udara dikorbankan. Kearifan lokal dalam menjaga lingkungan yang sudah ratusan tahun ada di suku-suku terpencil pun tidak digubris. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera menjadikan kearifan lokal lahan berpindah yang sudah berusia ratusan tahun sebagai tersangka. Padahal pola yang dilakukan dengan membakar lahan oleh masyarakat lokal ini selalu terukur dengan baik dan tidak pernah menghasilkan api yang besar.

Menurut Acep Akbar (2011), di zaman dahulu praktek pembakaran yang tanpa diawasi hanya menghasilkan api liar sepanjang kira-kira 10-15 depa saja (10-15 meter). Kecilnya penyebaran api liar tersebut adalah akibat keadaan hutan yang masih baik. Tentang luas ladang yang dikelola oleh setiap orang, zaman dulu tidak ada yang memiliki ladang sampai dengan 3 hektar. Dayak di zaman dahulu tidak mempunyai pengalaman mematikan api besar dan luas. Mereka hanya mempunyai pengalaman mematikan api kecil dengan alat ranting-ranting pohon.

Muryanti dan Rokhiman (2016) mengungkapkan bahwa masyarakat Dayak memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pengelolaan hutan untuk kehidupan sehari-hari dengan sistem tembawang yang mengenal kalender musim untuk proses penanaman di ladang. Sistem ini memungkinkan pengelolaan alam dalam jangka panjang dan menggunakan tanda-tanda alam dalam prosesnya.

Pembakaran hutan sebagai bagian dari pembukaan lahan dilakukan dengan cara dan waktu yang tepat sehingga tidak menimbulkan bencana. Kabut asap yang timbul lebih banyak disebabkan oleh perusahaan yang melakukan pembakaran secara masif dengan luasan lebih besar dibandingkan dengan penggunaan lahan oleh masyarakat Dayak.

Perusahaan pembakar hutan tampaknya hanya mengulang skenario kamuflase hijau seperti ditulis oleh Jed Greer dan Kenny Bruno dengan judul “Kamuflase Hijau : Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-perusahaan Transnasional”. Dalam buku ini diungkap bahwa perusahaan transnasional selalu menuding ladang berpindah adalah biang kerusakan hutan. Padahal penelitian S.C Chin, ahli botani Malaysia, menemukan bahwa suku asli hanya menebang kira-kira 72.000 hektar tiap tahun, tetapi dari jumlah itu hanya sekitar 5 % yang hutan primer. Sebaliknya, perusahaan penebang membabat sekitar 450.000 hektar hutan primer tiap tahun.

Ketua Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK) John Bamba seperti dikutip tirto.id (24 Agustus 2018) mengatakan tradisi ladang berpindah yang dilakukan masyarakat Dayak tidak menyebabkan kebakaran hutan dan lahan secara masif di Kalimantan Barat. Apabila tradisi bakar lahan yang dilakukan masyarakat Dayak menyebabkan kebakaran secara besar-besaran, maka Kalimantan tidak akan meninggalkan banyak hutan saat bergabung dengan Indonesia di tahun 1945.

Hutan di masa lalu selalu dipersepsikan sebagai tempat yang sakral dan keramat sehingga tidak ada seorang pun yang berani mengusik dan merusaknya. Hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat tradisional yang dapat memberikan air, buah, kayu, sayuran, dan penawar sakit. Kayu bajakah yang menjadi viral setelah diangkat sebagai bahan penelitian oleh tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah merupakan salah satu buah dari kearifan lokal suku dayak dalam menjaga hutan. Yazid, Anggina Rafitri, dan Aysa Aurealya Maharani adalah peneliti muda yang menggugah kesadaran banyak pihak bahwa hutan jika dirawat dengan baik dan benar merupakan toko serba ada yang menyediakan semua kebutuhan manusia termasuk ramuan penyembuh kanker.

Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan telah melakukan riset pada 405 etnis di 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2012, 2015 dan 2017. Riset ini melibatkan 2.170 peneliti dan 2.354 pengobat tradisional. Mereka berhasil mengidentifikasi 2.848 spesies tumbuhan obat dan 32.014 ramuan. Ada 74 kelompok kegunaan ramuan yang berhasil tercatat dari Ristoja. Pada tahun 2012, Ristoja berhasil menginventarisasi sebanyak 506 ramuan jamu untuk pengobatan tumor/kanker yang menggunakan tumbuhan obat tertentu.

Kearifan lokal dalam merawat lingkungan adalah kunci untuk melestarikan lingkungan. Pemerintah punya kewajiban untuk menghormati kearifan lokal ini sebelum mengundang investor untuk mengelola hutan di tanah air. Pemerintah harus menjaga kearifan lokal dengan cara menindak tegas para perusahaan pembakar hutan yang selalu menuduh peladangan berpindah sebagai biang kerok kebakaran hutan. Jika perlu pemerintah dapat mencabut izin pengelolaan hutan dari perusahaan pelaku pembakaran ini.

Editor: Nidaul Fauziah


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x