Hari Buruh Internasional 1 Mei: Gerakan Buruh Menuntut 8 Jam Kerja dan THR

1 Mei 2021, 10:42 WIB
Aksi buruh di Gerbang Tol Cileuny saat melakukan aksi demo menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja beberapa waktu lalu. Peringatan Hari Buruh 1 Mei dikhawatirkan jadi salah satu pemicu penularan Covid-19. /Portal Bandung Timur/heriyanto

BERITA SLEMAN - Hari ini, 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional atau May Day. Sejarah gerakan buruh membentang sejak abad ke-19, dari penuntutan pengurangan jam kerja hingga di Indonesia, menuntut adanya Tunjangan Hari Raya (THR).

Hari Buruh Internasional atau May Day bermula dari tahun 1889, ketika The Second International, federasi internasional sosialis dan serikat buruh, menetapkan 1 Mei sebagai hari untuk mendukung para pekerja, dalam rangka memperingati Kerusuhan Haymarket di Chicago (1886).

Menurut laporan Aljazeera, hingga akhir abad ke-19, buruh di Amerika Serikat kerap dipaksa bekerja hingga 16 jam sehari. Mereka kemudian memperjuangkan waktu kerja delapan jam sehari.

Baca Juga: Cara Lapor Penerima Bansos BST, PKH, BPNT Belum Dapat Uang Tunai di lapor.jogjaprov.go.id

Pada 1 Mei 1886 di Chicago, sekitar 40.000 orang melakukan protes dan pemogokan yang diinisiasi oleh serikat buruh, sosialis, anarkis dan komunis. Hingga 3 Mei, pemogokan itu terkoordinasi dengan baik dan tak menimbulkan kekerasan.

Kemudian pada 4 Mei, polisi berusaha membubarkan para demonstran di alun-alun Haymarket Chicago. Diceritakan, bom molotov dilemparkan ke arah aparat, menewaskan tujuh aparat dan setidaknya empat warga sipil.

Polisi kemudian menangkap delapan anarkis dengan pasal konspirasi. Kemudian, pengadilan menjatuhkan putusan untuk tujuh terdakwa dengan hukuman mati, sedangkan seorang terdakwa dihukum penjara 15 tahun.

Baca Juga: 5 Cara Hadapi Nyinyiran Tetangga saat Dikira Pesugihan Karena Nganggur di Rumah

Empat anarkis tersebut digantung, satu bunuh diri daripada menghadapi tiang gantungan, dan dua lainnya dukumannya diubah menjadi penjara seumur hidup.

Mereka yang meninggal dianggap oleh banyak orang kiri, termasuk sosialis dan anarkis, sebagai "Martir Haymarket".

Namun baru 30 tahun kemudian, pada 1916, pemerintah AS mengakui hari kerja delapan jam dengan mengubah undang-undang perburuhannya. Aturan kerja delapan jam jadi aturan standar yang dirujuk oleh seluruh neraga di dunia, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Mayoritas Pasangan Milenial Berjuang dalam Ketidakpastian Kerja, Bukan yang Kencan Sambil Ngomongin Saham

Di Indonesia, sejarah adanya THR juga bermula dari perjuangan kaum buruh. Adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), satu serikat buruh yang kekeuh memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntutan akan THR.

SOBSI tahu, kalau THR bisa jadi solusi dari perekonomian era 1950an yang terus memburuk. Karena THR atau waktu itu masih disebut Persekot Hari Raja kala tersebut hanya dianggap sukarela, organ buruh yang lain tak terlalu keras menuntut.

Dalam Sidang Dewan Nasional II pada bulan Maret 1953 di Jakarta, SOBSI, organisasi buruh yang kerap dicap PKI ini, mulai menyuarakan: “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor,” dikutip dari "Hadiah Lebaran Dalam Rangka Kebijaksanaan Pemerintah" (1957) tulisan K. Gunadi.

Baca Juga: Cek di cekbansos.kemensos.go.id untuk Dapat Bansos PKH hingga Rp3 Juta Cair di Bulan Mei

Dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang berkuasa dari 1953 hingga 1955 THR disebut dengan istilah 'Hadiah Lebaran'. Namun, saat itu THR masih belum juga diwajibkan.

Kemudian, dalam Kabinet Kerja II yang berkuasa dari 1960 hingga 1962, Ahem Erningpraja, Menteri Perburuhan saat itu mengannti 'Hadiah Lebaran' dengan 'Tunjangan Hari Raja Lebaran'.

Para perusahaan diwajibkan memberi THR yang menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perburuhan nomor 1/1961.

Tiap menjelang Idul Fitri, THR sebagai hak buruh wajib dibayarkan oleh pemberi kerja.***

Editor: Arfrian Rahmanta

Tags

Terkini

Terpopuler