Namun baru 30 tahun kemudian, pada 1916, pemerintah AS mengakui hari kerja delapan jam dengan mengubah undang-undang perburuhannya. Aturan kerja delapan jam jadi aturan standar yang dirujuk oleh seluruh neraga di dunia, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, sejarah adanya THR juga bermula dari perjuangan kaum buruh. Adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), satu serikat buruh yang kekeuh memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntutan akan THR.
SOBSI tahu, kalau THR bisa jadi solusi dari perekonomian era 1950an yang terus memburuk. Karena THR atau waktu itu masih disebut Persekot Hari Raja kala tersebut hanya dianggap sukarela, organ buruh yang lain tak terlalu keras menuntut.
Dalam Sidang Dewan Nasional II pada bulan Maret 1953 di Jakarta, SOBSI, organisasi buruh yang kerap dicap PKI ini, mulai menyuarakan: “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor,” dikutip dari "Hadiah Lebaran Dalam Rangka Kebijaksanaan Pemerintah" (1957) tulisan K. Gunadi.
Baca Juga: Cek di cekbansos.kemensos.go.id untuk Dapat Bansos PKH hingga Rp3 Juta Cair di Bulan Mei
Dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang berkuasa dari 1953 hingga 1955 THR disebut dengan istilah 'Hadiah Lebaran'. Namun, saat itu THR masih belum juga diwajibkan.
Kemudian, dalam Kabinet Kerja II yang berkuasa dari 1960 hingga 1962, Ahem Erningpraja, Menteri Perburuhan saat itu mengannti 'Hadiah Lebaran' dengan 'Tunjangan Hari Raja Lebaran'.
Para perusahaan diwajibkan memberi THR yang menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perburuhan nomor 1/1961.
Tiap menjelang Idul Fitri, THR sebagai hak buruh wajib dibayarkan oleh pemberi kerja.***