Kartini versi Hanung Bramantyo Lebih Modern, Berikut 3 Fakta Unik Film Kartini

21 April 2021, 11:28 WIB
Untuk merayakan Hari Kartini, film /beritadiy/Irsa Ardia

BERITA SLEMAN - Setiap April kita merayakan Hari Kartini. Untuk merayakan pikiran-pikirannya, film "Kartini" besutan Hanung Bramantyo jadi satu sumber yang layak ditonton. Ada tiga fakta unik tentang film "Kartini".

Film yang terinspirasi dari kisah nyata perjuangan Kartini, pahlawan perempuan yang paling populer di Indonesia tersebut rilis pada 2017. Diperankan oleh Dian Sastrowardoyo (Kartini), Ayushita (Kardinah), Reza Rahadian (Sosrokartono), Acha Septriasa (Roekmini) dan deretan aktor-aktris lainnya.

Film ini berkisah seputar Kartini, adat Jawa yang kerap menomorduakan perempuan dan keluh-kesahnya soal kesetaraan atau emansipasi, terutama dalam akses pendidikan.  

Baca Juga: Jadwal Acara NET TV Rabu 21 April 2021: Drama Korea Suspicious Partner akan Menemani Anda

Di Indonesia awal tahun 1900 Masehi, perempuan tidak diperbolehkan memperoleh pendidikan yang tinggi, bahkan untuk para ningrat sekalipun. Perempuan ningrat Jawa saat itu hanya diharapkan menjadi Raden Ayu dan menikah dengan seorang pria ningrat pula.

Kartini tumbuh dengan melihat langsung bagaimana ibu kandungnya, Ngasirah (Christine Hakim) menjadi orang terbuang di rumahnya sendiri. Diangggap pembantu hanya karena tidak mempunyai darah ningrat.

Meskipun begitu, tidak semua perempuan Jawa terima dengan keadaan yang
sudah ada. Kartini Bersama kedua saudarinya, Roekmini dan Kardinah membuat sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan lapangan kerja untuk rakyat di Jepara dan sekitarnya.

Baca Juga: Ed Woodward Mundur dari MU, Chelsea dan Manchester City Keluar dari European Super League

Kartini berusaha mendobrak tradisi yang berlaku bahkan menentang keluarganya sendiri. 

Ada beberapa fakta unik dari film "Kartini" yang sebagaimana dikutip BERITA SLEMAN dari penelitian berjudul "Representasi Modernitas Perempuan Jawa dalam Film “Kartini” karya Hanung Bramantyo" karya Anisah Hikmah Wati.

1. Perempuan dipingit sejak menstruasi pertama

Pingit adalah salah satu tradisi dalam proses pernikahan adat Jawa. Di mana calon pengantin perempuan dilarang ke luar rumah atau bertemu dengan calon pengantin laki-laki selama waktu yang telah disepakati. Biasanya, sampai pernikahan tiba, keduanya tak boleh bertemu. 

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 21 April 2021: Aquarius, Pisces, Scorpio Cobalah Kreatif dalam Berpacaran

Kartini mengalami pingitan di usia yang sangat muda, yakni 12 tahun. Pada 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang kala itu, Raden Adipati Joyodiningrat.

Seumur hidup menolak poligami, akhirnya Kartini pun menyerah. Dia jadi istri keempat Joyodiningrat.

Dalam adat Jawa saat itu, perempuan Jawa rela dipoligami demi mendapatkan masa depan yang lebih baik. Perempuan Jawa juga tak boleh tertawa lebar dan berpendidikan tinggi.

Baca Juga: Kode Redeem Free Fire 21 April 2021, Segera Klaim dan Dapatkan Item Gratis!

2. Kartini versi Hanung Bramantyo lebih modern

Hanung Bramantyo beda pendapat dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer soal bagaimana ciri dan penampilan dari Kartini.

Dalam bukunya "Panggil Aku Kartini Saja", Pram mengidentifikasi Kartini hampir sebagai perempuan Jawa yang berciri-ciri bentuk wajah yang bundar, warna
kulit yang tidak terlalu terang dan tidak terlalu gelap, dan hidung yang
tidak terlalu mancung.

Baca Juga: Profil Adiguna Sutowo: Mertua Dian Sastro yang Meninggal Hari Ini, Pernah Terjerat Kasus Penembakan

Serta kebaya yang digunakan Kartini dalam sehari-hari sangat sederhana, tanpa perhiasan kecuali anting mungil sederhana. Penggambaran Pram lantas dipakai oleh Sjuman Djaya dalam film yang berjudul “R.A Kartini” yang dirilis pada tahun
1982.

Hanung, sutradara "Kartini" memilih Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini. Seperti diketahui, Dian Satro memiliki bentuk wajah yang tidak bundar, kulitnya yang cenderung sangat cerah, dan mempunyai hidung yang mancung ditampilkan dalam film.

Kartini versi Hanung pun memakai kebaya yang tergolong mewah dengan warna-warna yang kuat yaitu merah tua dan hijau tua. Dia juga menggunakan perhiasan anting dan kalung dalam kegiatannya sehari-hari.

Baca Juga: Selamat Jalan Papa Guna, Ucap Perpisahan Dian Sastro pada Mertuanya Adiguna Sutowo yang Meninggal Hari Ini

Meskipun buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pram membantu Hanung menghadirkan karakter Kartini dalam film biopik "Kartini", dari identifikasi di atas membuktikan bahwa Hanung menggambarkan Kartini yang lebih modern dibandingkan dengan karya sebelumnya.

3. Kartini versi Hanung Bramantyo tak hanya berbahasa Jawa

Dalam film “R.A Kartini” yang dirilis pada tahun 1982, Kartini hanya berbicara dengan bahasa Jawa. Sjuman Djaya, si sutradara memperlihatkan bahwa ketika itu perempuan Jawa hampir tidak punya pilihan berbahasa selain menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.

Baca Juga: Profil Raden Roro Ayu Maulida Putri, Putri Indonesia yang Siap Tanding ke Miss Universe

Ini berbeda dengan Kartini dalam film “Kartini”. Kartini versi Hanung adalah perempuan Jawa yang menggunakan bahasa Jawa, sekaligus bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.

Hal ini merepresentasikan bahwa perempuan Jawa mempunyai pilihan menggunakan bahasa apa untuk berkomunikasi tergantung siapa lawan bicaranya.***

 

Editor: Arfrian Rahmanta

Tags

Terkini

Terpopuler