Memperingati Hari Puisi Nasional, Menengok Sosok Chairil Anwar: Si Binatang Jalang yang Gemar Mencuri Buku

- 28 April 2021, 19:00 WIB
Sejumlah siswa membaca puisi saat memperingati Hari Puisi Sedunia di SMP Muhammadiyah 1 Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (24/3/2021). Membaca puisi secara serentak yang berjudul "Puisi Cinta Untuk Presiden Jokowi" tersebut sebagai wujud rasa terima kasih siswa atas keberhasilan pemerintah melawan COVID-19 dan kesuksesan vaksinasi secara massal di Indonesia. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/wsj.
Sejumlah siswa membaca puisi saat memperingati Hari Puisi Sedunia di SMP Muhammadiyah 1 Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (24/3/2021). Membaca puisi secara serentak yang berjudul "Puisi Cinta Untuk Presiden Jokowi" tersebut sebagai wujud rasa terima kasih siswa atas keberhasilan pemerintah melawan COVID-19 dan kesuksesan vaksinasi secara massal di Indonesia. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/wsj. /Oky Lukmansyah/ANTARA FOTO

BERITA SLEMAN - Chairil Anwar wafat pada 28 April 1949. Untuk mengenang sang penyair dan pelopor puisi modern, hari kepergiannya kemudian diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

Chairil berperan penting dalam membangun inspirasi dan imajinasi bangsa ini. Penyair yang kerap dipanggil 'Si Binatang Jalang' ini merupakan perintis jalan bagi sastra modern Indonesia.

Sumbangan terbesar Chairil adalah keberhasilannya meyakinkan bahwa bahasa Indonesia, bahasa yang pada 1940-an masih amat muda itu, ternyata merupakan bahasa yang menyimpan daya yang amat besar.

Baca Juga: Sejarah Babi Ngepet, Makhluk Jadi-Jadian Pencuri Duit yang Bikin Heboh di Depok

Ia melahirkan sajak-sajak yang memperkaya bahasa Indonesia.

Kumpulan sajaknya: "Deru Campur Debu" (1949), "Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus" (1949), "Tiga Menguak Takdir" (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950).

Tentu ada beberapa sajak Chairil yang begitu membekas dan mudah dihafal oleh banyak orang. Sebut saja sajak ”Aku”, ”Diponegoro”, dan ”Krawang-Bekasi”, yang penuh vitalitas dan biasanya dibacakan dalam perayaan Hari Kemerdekaan RI di kampung-kampung.

Baca Juga: Fakta-Fakta Penangkapan Munarman oleh Densus 88: Mata Ditutup hingga Ditemukan Bahan Peledak

Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosa Chairil telah dihimpun oleh Hans Bague Jassin dalam buku "Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45" (1956).

Dalam catatan H.B. Jassin, sepanjang hidupnya, Chairil telah membuat 94 tulisan. Terdiri atas 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.

Selain menulis sajak, Chairil juga menerjemahkan. Dia menerjemahkan "Pulanglah Dia si Anak Hilang" (karya Andre Gide, 1948) dan "Kena Gempur" (karya John Steinbeck, 1951).

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini 28 April 2021: Taurus, Leo dan Cancer Saatnya Tebar Pesona

 

Gemar Membaca dan Mencuri Buku

Lelaki kelahiran 26 Juli 1922 di Medan ini gemar sekali membaca (dan mencuri) buku.

Kegemaran membaca pernah membuat Chairil remaja tertimpa masalah. Anak pasangan Toeloes dan Saleha itu pernah dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa.

Saat itu Chairil membacakan satu bagian dari buku "Layar Terkembang" (1936) karangan Sutan Takdir Alisjahbana untuk ibunya, dengan lantang saat berada di rumah di Pangkalan Brandan.

Baca Juga: Masjid Jogokariyan dan UAS Ajak Patungan Beli Kapal Selam Pengganti KRI Nanggala-402

Suaranya yang cempreng itu memancing polisi datang. Chairil lalu dibawa ke kantor polisi dan diperiksa di sana. Karena, buku tentang emansipasi perempuan yang terbit pada 1936 itu dianggap sensitif.

Pada 1942, Chairil pindah ke Jakarta mengikuti ibunya, Saleha. Ia menggelandang dari satu tempat ke tempat lain untuk bertahan hidup. Di Jakarta, ia hidup miskin dan terlantar.

Namun, di Ibu Kota inilah wawasan Charil makin bertambah luas karena asupan buku yang ia baca dan pengalaman urban yang ia alami.

Baca Juga: Hati-hati, Berikut Sanksi untuk Perusahaan yang Telat Bayar THR Karyawan

Chairil bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya membaca dengan mencuri buku. Salah satu kenakalannya yang termasyur adalah aksinya bersama Asrul Sani.

Suatu hari Chairil pernah mengajak Asrul mencuri buku filsafat di toko buku terbesar bernama Van Dorp. Van Dorp dulu dikenal sebagai toko buku yang menjual buku-buku bagus. Sekarang toko buku itu menjadi kantor dealer Toyota Astra.

Dalam aksi tersebut, mereka salah ambil buku berjudul "Also Sprach Zarathustra" karangan filsuf Friedrich Nietzsche.

Baca Juga: Inspirasi Menu Berbuka Puasa: Oseng Tempe Cabai Hijau, Menu Sahur dan Berbuka Puasa yang Lezat

Menanggapi pencurian tersebut, Chairil punya dalihnya sendiri:

"Tak apa-apa mencuri kalau di toko milik orang Belanda. Bangsa mereka juga merampok kekayaan negeri kita,” katanya.

Maka, jika kawan-kawannya membutuhkan buku, mereka mengandalkan Chairil untuk mengambil buku sonder bayar.

Namun keberuntungannya tak begitu bagus di hadapan Kenpetai (polisi Jepang). Dalam buku "Sudjojono dan Aku" (2006), Mia bustam, istri maestro lukis Sudjojono menceritakan kalau Chairil berulang kali ditangkap lantaran mencuri macam-macam barang: dari cat hingga seprai.

Baca Juga: Rangkuman Komentar Negatif soal KRI Nanggala-402, Ada Nurhadi Hingga Polisi Sleman

Pemberontak yang Hidup di Antara Kita

"'Aku mau hidup seribu tahun lagi', tulis Chairil Anwar dalam sajak 'Aku' atau 'Semangat' pada tahun 1943. Ketika ia berumur 20 Tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, dimakamkan di Karet [Jakarta Selatan], yang disebutnya sebagai 'daerahku y.a.d.' dalam 'Yang Terampas dan Yang Putus'.

"—sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada 1949. Sejak itu, sajak-sajaknya hidup di tengah-tengah kita," ucap Sapardi Djoko Damono dalam teks "Chairil Anwar Kita".

Baca Juga: Catat, Ini Syarat Lengkap Perjalanan Sebelum dan Sesudah Larangan Mudik 2021

Chairil mati muda, pada usia 27 tahun, dan sejarah akan terus mencatat, ia seorang pemberontak yang tak beranjak tua. Komplikasi infeksi paru, tifus, luka usus—dan raja singa menurut banyak orang—menggerogoti kehidupan bohemiannya yang liar.

Tapi mati muda telah mengekalkan imaji dirinya selaku pemberontak terhadap adat-istiadat, nilai, dan kemapanan Pujangga Baru.***

Editor: Arfrian Rahmanta


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah